Senin, 14 April 2014

TENTANG KEBO-KEBOAN BANYUWANGI

Diposting oleh Unknown di 07.00

  PENGERTIAN
Menurut Kamus Bahasa Indonesia,
Tradisi adalah (1) adat kebiasaan turun-temurun (dr nenek moyang) yg masih dijalankan dl masyarakat; (2) penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yg telah ada merupakan yg paling baik dan benar: perayaan hari besar agama itu janganlah hanya merupakan -- , haruslah dihayati maknanya.
Kebo atau kerbau adalah (1) binatang memamah biak yg biasa diternakkan untuk diambil dagingnya atau untuk dipekerjakan (membajak, menarik pedati), rupanya spt lembu dan agak besar, tanduknya panjang, suka berkubang, umumnya berbulu kelabu kehitam-hitaman.
Alas Malang adalah salah satu nama daerah di Banyuwangi, Jawa Timur.
Bila mendengar kata ‘Barong’, mungkin yang pertama kali muncul dalam benak adalah sebuah pertunjukkan tari spektakuler dari Bali. Barong memang dikenal luas sebagai salah satu karakter dalam mitologi Bali.

Barong dalam mitologi Bali adalah perlambang kebaikan, roh pelindung. Musuhnya ialah Rangda si tukang sihir jahat. Seni drama tari yang mengisahkan pertempuran Barong melawan Rangda, lazim disuguhkan sebagai atraksi wisata, dan sudah dikenal oleh banyak kalangan.
 Tradisi ider bumi digelar setiap tahun sekali pada hari kedua bulan syawal dan sudah dilakukan turun temurun oleh warga desa Kemiren.
Beda lagi dengan di Banyuwangi, Jawa Timur. Ada Ritual Upacara adat yang bernama barong Ider Bumi, yang dilangsungkan di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Barong Ider Bumi merupakan ritual upacara bersih desa di hari ke – 2 setelah lebaran yang dilakukan oleh masyarakat suku osing di desa tersebut. Acara ini merupakan agenda tahunan yang rutin di gelar dengan swadaya masyarakat.
Dalam ritual Barong Ider Bumi tersebut, barong wajib diarak keliling desa dengan diiringi nyanyian macapat (tembang Jawa) yang berisi doa dan pemujaan terhadap Tuhan. Kata ider bumi merupakan penggabungan dari dua kata yaitu ider dan bumi. Ider berarti berkeliling kemana-mana, dan bumi artinya jagat atau tempat berpijak. Dari arti kedua kata tersebut dapat dimengerti bahwa Ider Bumi dimaksudkan adalah kegiatan mengeliling tempat berpijak atau bumi.
Jadi, sesuai dengan namanya, inti dari ritual Barong Ider Bumi adalah mengarak barong memutari desa.

Sebelum Barong diarak keliling desa, para sesepuh memainkan angklung di balai desa untuk memulai ritual. Setelah itu, orang-orang mulai berbaris mengarak barong, sambil menabur beras kuning bercampur uang receh di sepanjang perjalanan. 

Barong diarak dari pintu masuk desa sampai pintu keluar desa sepanjang kurang lebih 3 kilometer, dan kemudian arak-arakan pun berakhir. Ibu-ibu menyiapkan tumpeng dan pecel pitik (pecel ayam) untuk selamatan yang digelar di sepanjang jalan desa.

Upacara adat Barong Ider Bumi merupakan upacara bernuansa sakral dari Desa Wisata Using Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.
Dalam upacara tersebut, tujuh wanita membawa ubo rampe. Lima wanita membawa beras kuning dan uang sejumlah Rp 99.900, sedangkan dua wanita lainnya membawa kendi. Ada juga sejumlah anggota mocoan. Mereka dengan khidmat mengikuti upacara itu. Tokoh masyarakat Kemiren, Adi Purwadi mengatakan, acara Barong Ider Bumi sudah dilakukan sejak tahun 1940.
‘’Kenapa pelaksanaanya serba 2, karena kekuatan pelestarian alam ada 2, yakni baik dan buruk, wanita dan laki-laki.’’ Dijelaskan, konon dulu ada pagebluk sejenis penyakit atau bencana melanda masyarakat Kemiren. Setelah itu, tokoh masyarakat mendapat wangsit melewati mimpi dari Buyut Cili yang merupakan tetua Kemiren.
Dia mengatakan, untuk menghilangkan pagebluk itu harus segera dilakukan Barong Ider Bumi. ‘’Dalam iring-iringan, ada barong sebagai lambang persatuan, uang koin sebagai pengusir lelembut, dan sembur uthik-uthik beras kuning,’’ sebutnya.

Diawali dengan permainan angklung sesepuh desa setempat, warga mengarak barong mengelilingi jalan desa. Sembari mengarak barong, beras kuning bercampur uang receh ditabur di sepanjang perjalanan. Anak-anak pun berebut uang recehan sedang orang tua berebut mengambil pisang yang telah dipersiapkan di pinggir jalan.
Setelah menyusuri jalan desa, arak-arakan pun berakhir. Sejumlah ibu-ibu  telah menyiapkan tumpeng dan pecel pitik (pecel ayam) untuk selamatan yang digelar di tengah-tengah jalan desa. Acara makan bersama yang memungkasi ritual hari itu terasa guyub dan mencerminkan kebersamaan khas masyarakat desa.
Macetnya jalanan traffic lebaran dan teriknya mentari yang serasa membakar ubun-ubun menjadi teman yang kurang bersahabat dalam perjalanan kami ke desa Kemiren kecamatan Glagah Banyuwangi untuk menyaksikan acara adat “Barong Ider Bumi’ siang ini. Bersama dayu adikku yang kebetulan mengadakan penelitian untuk skripsinya dengan objek adat desa Kemiren, aku putuskan untuk pergi kesana agar bisa memotret acara yang cuma diadakan setahun sekali itu. Perjalanan yang lebih lambat dari biasanya kami akhiri di rumah Pak Carik Kemiren dimana Pak Rato sudah menunggu 2 jam lamanya.
Pak Rato adalah dosen pembimbing skripsi Dayu dan kebetulan beliau adalah ketua tim peneliti UNEJ di desa Kemiren yang hampir 4 tahun membaur dengan masyarakat Kemiren dan pernah 1,5 tahun menetap disana dalam masa penelitiannya dulu. Sambutan luar biasa untuk seorang “aku” yang bukan apa-apa dari Pak Carik, Pak Rato dan Istrinya yang dengan spontan mengatakan “cantik sekali” saat melihat wajahku membuat kepenatan yang terasa di sepanjang perjalanan langsung sirna seketika dan mimpi untuk meneguk es kelapa muda saking panasnya cuaca langsung musnah oleh senyum ramah si empunya rumah. 
            Seperti rumahku sendiri, seperti kampungku sendiri” langsung kurasa saat sandarkan tubuhku di sofa ruang tamu Pak Carik setelah bersalaman dengan segenap orang yang ada disana, betapa bersahabatnya. Sambil menunggu jam dua siang tepat acara Barong Ider Bumi akan dimulai kami berdiskusi dan bercerita tentang Kemiren.
Awalnya aku sama sekali tidak tertarik karena niat kedatanganku kesana hanyalah untuk motret agar bisa menepati janjiku pada si Mico, tapi ternyata pembicaraan sangatlah menarik hingga aku ikut serta di dalamnya dan suasana kekeluargaan menjadi semakin terasa. Sayang Pak Rato tidak bisa menyaksikan acara Ider Bumi karena harus segera kembali ke Jember, beliau kesana untuk menitipkan kami pada Pak Carik agar kegiatan kami disana lancar serta menyuruh kami yang mewakili kealpaannya dalam acara Ider Bumi tersebut. 
Tepat jam dua siang acara dimulai setelah sebelumnya disajikan tari-tarian khas desa kemiren. Start acara adalah batas desa sebelah timur dengan rute arak-arakan Barong sepanjang jalan desa hingga batas desa sebelah barat kemudian kembali lagi ke timur, di masing-masing batas tersebut di dirikan Anjang-anjang yang sangat tinggi dan ditempati oleh penabuh gamelan sebagai tanda .
Karena itulah acara tersebut dinamakan “Barong Ider bumi” yang dalam Bahasa Indonesia bisa kuartikan “Barong Keliling Tanah”. Acara tersebut dilaksanakan setiap tanggal 2 Syawal atau hari kedua Idul Fitri untuk menghormati danyang desa Kemiren agar kemakmuran desa tetap terjaga dan terjauhkan dari bencana. 
Seperti namanya, Barong adalah ikon penting dalam acara tersebut. Barong adalah kesenian khas desa Kemiren yang berbentuk tarian dimana dalam acara Ider Bumi ada empat jenis tarian Barong yang ditampilkan dan mempunyai cerita sendiri-sendiri. Keempat jenis Barong tersebut adalah Barong Tua, Barong Remaja, Barong anak-anak dan Barongsai. Keempat jenis Barong adalah sebagai lambang generasi-generasi yang menghuni desa Kemiren. Diikutkannya Barongsai dalam acara tersebut karena di desa Kemiren yang terkenal dengan Kampung Using ternyata ada etnik lain yang menghuninya, yaitu Tionghoa.   
Aku menggambarkan acara Ider Bumi ini sama dengan karnaval Agustusan, namun seorang pinisepuh Kemiren pemimpin barisan berkata dengan bangganya padaku yang sedang memotretnya “ikai arane adat (ini namanya adat)!”, dan aku tersadar kalau keduanya sangatlah berbeda meskipun performance nya sama. Akupun semakin antusias memotret dengan keyakinan, karena ini acara adat maka tak banyak tempat yang menyediakan momen seperti ini, tidak seperti karnaval Agustusan yang hampir tiap daerah mengadakan. Mungkin karena itu juga aku melihat banyak orang membawa senjata pembuat keabadian (baca kamera) bertebaran berusaha mengabadikannya, ini etnik dan ini unik.
Aku sangat beruntung bisa menyaksikan momen ini dengan perjuangan yang tidak seberapa, karena aku tidak usah pergi jauh-jauh untuk bisa menyaksikannya dan karena momen ini adalah salah satu kebudayaan daerahku sendiri. “Banyuwangi itu asyik, karenanya tiap tahun saya selalu kembali lagi kesini.” Aku mendengar apology itu dari seseorang yang kutanya kenapa jauh-jauh dari Bandung mau mengorbankan lebarannya cuma buat motret acara kecil seperti ini.
Melihatku berjalan sambil tercengang karena jawabannya, dia semakin asyik mengutak-atik kamera SLR D-80 nya sambil berkata “ Kalo hobby diteruskan saja, saya liat kamu cukup tertarik, bagus. Saya dulu cuma berawal dari dream, dreaming pengen punya kamera”. “Gak apa-apa pake powershot, dulu saya pernah juara lomba foto bunga pake powershot”, ia tambahkan itu saat melihat wajah skeptisku. Sambil tertawa kecil melihatku seperti orang tolol karena masih saja tercengang, ia memperlihatkan D-80 nya yang ternyata ada banyak foto diriku yang sedang ribet motret disana. Hah…????!!! Orang yang aneh…, dan ternyata kutahu dia adalah seorang dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Seni Bandung. Pantes! 
Tak terasa arak-arakan sudah hampir sampai di finish. Gila!!! Total 4 km aku lari pontang-panting buat motret siang ini. Anehnya aku melakukan semua dengan senang hati, tanpa keluhan, bahagia dan rasa puas luar biasa. Oh tidak!!! Aku lagi-lagi dibuat tercengang saat dengan spontan orang-orang tiba-tiba minggir dan mengosongkan jalanan panjang kemudian menata tikar-tikar di tengah jalan dengan serempak. Wanita berpakaian jebeng (kebaya dengan bawahan selendang gajah oling yang di pake cuma sampai bawah lutut) menata bakul-bakul mereka berjajar yang ternyata berisi tumpeng, ingkung serta bumbu dan parutan kelapa.
Mereka kemudian mencampur bumbu, parutan kelapa dan ingkung yang sudah di suwir-suwir menjadi adonan “pecel pitik”. Pak Carik mempersilakan aku duduk bersama dengannya. Di depanku ada dua dosen Sastra Inggris Unej bersama turisnya yang kukenal di jalan saat sibuk motret tadi. Bau tumpeng yang terbuat dari beras “Binjah Arum”, beras khas desa Kemiren yang menusuk-nusk hidung semakin menggodaku untuk segera menikmati “pecel pitik” itu. Setelah doa dan ucapan syukur atas terlaksananya acara, aku bersama semua warga Kemiren serempak menyantap seribu tumpeng dan pecel pitiknya. Tawa, canda dan senyum ramah penuh kekeluargaan yang tercipta membuatku serasa telah lama menjadi bagian dari mereka.  
Wonderful experience dan banyak foto untuk sahabatku mico sudah ada di tangan. Petang itu aku pulang dengan perasaan senang bukan alang kepalang dan apa yang sudah kudapatkan membuat macetnya jalanan tak lagi kuhiraukan. Otakku malah sibuk menganalisis semua kejadian yang baru saja kualami. Tak terasa rasa nasionalisku tumbuh hingga tersirat betapa bangganya aku hidup disini, betapa bangganya aku menjadi orang Banyuwangi. Berjuta mimpiku menjamah negeri orang, satu keinginanku aku tetap bisa kembali kesini. Untuk satu sore yang tak terlupa


Menurut definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa tradisi Barong Ider Bumi merupakan salah satu upacara adat tahunan yang dilakukan masyarakat suku Using, Banyuwangi. Ritual ini masih sering diadakan di desa adat Desa Kemiren, kecamatan Glagah, Banyuwangi. Kegiatan Barong Ider Bumi ini rutin diadakan setiap tahun, biasanya dilaksanakan dua hari setelah Hari Raya Idul Fitri. Iring-iringan Barong itu diarak keliling kampung dengan dikawal tujuh perempuan tua yang membawa Ubo Rampe (perkakas ritual). Kirab Barong itu juga disertai lima perempuan pembawa beras kuning dan uang Rp 99.900. Ada juga dua perempuan pembawa kendi. Dalam iring-iringan Barong Ider Bumi diharuskan ada 'Barong' sebagai lambang persatuan. 'Uang Koin' sebagai pengusir lelembut, dan 'Sembur uthik-uthik' beras kuning sebagai pelengkap.
Banyuwangi – Ratusan suku Osing Desa Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur menggelar upacara adat atau ritual Barong Ider Bumi di Desa Wisata Kemiren, Sabtu (11/9). Masyarakat Osing di Kemiren meyakini ritual Barong Ider Bumi dapat mengusir pagebluk atau penyakit dan bencana yang melanda Kemiren.
Barong Ider Bumi dibawa keliling Desa Kemiren, disertai dengan penebaran uang koin dan beras kuning oleh pemimpin iring-iringan. Ritual itu yang diartikan sebagai lambang pengusir lelembut. Sembari iring-iringan berjalan mengelilingi desa Kemiren, para ibu-ibu yang tinggal di desa setempat bertugas untuk menyiapkan makanan yang akan disajikan untuk makan bersama.

              LATAR BELAKANG
Banyuwangi merupakan salah satu daerah yang memiliki berbagai macam kebudayaan. Satu diantaranya adalah Tradisi Kebo-Keboan Alas Malang. Meski zaman kian bergulir dan terus berusaha untuk melibas budaya-budaya lama, namun budaya warisan yang sudah turun temurun dilaksanakan rutin setiap tahun itu masih tetap bertahan dengan terus berupaya mempertahankan kemurnian dan kesakralan daripada kebudayaan itu sendiri. Tradisi Adat Kebo-Keboan Alas Malang merupakan satu diantara dua wisata Adat yang bisa dinikmati oleh wisatawan yang mengunjungi Kabupaten Banyuwangi pada Bulan Muharram. Prosesi ini berhubungan dengan situs kesuburan, syukuran serta do'a kepada Tuhan agar para petani diberi keselamatan dan kesejahteraan serta mendapat panen yang melimpah di masa yang akan datang. Awalnya, upacara ini diadakan untuk memohon turunnya hujan saat kemarau panjang, dengan turunnya hujan berarti bercocok tanam segera bisa dilaksanakan.
      PEMBAHASAN
·         Asal Usul Kesenian
Ritual upacara adat “kebo-kebo”-an di Desa Alasmalang, Kec. Singojuruh-Banyuwangi itu diperkirakan muncul sekitar abad ke-18 Masehi. Dikisahkan, pada saat itu masyarakat Desa Alasmalang dilanda musibah brindeng atau pagebluk (wabah penyakit) yang berkepanjangan. Yakni, jenis penyakit yang snagat menakutkan dan sulit diketemukan obatnya. Karena, bagi yang terkena pagi maka sore harinya akan mati, jika malam kena, paginya akan mati, begitulah seterusnya.  Selain itu, di tengah bencana seperti itu, masyarakat Alasmalang yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani itu pun, lahan pertaniannya dilanda hama tikus yang amat besar. Akibatnya, panenan menjadi rusak dan gagal.
Akhirnya, salah satu sesepuh desa yang biasa dipanggil Mbah Buyut Karti mengajak warga untuk melakukan ruwatan atau selamatan desa agar wabah brindeng atau pagebluk serta hama yang menyerang desanya segera lenyap. Anehnya, setelah ruwatan tersebut digelar, berangsur-angsur wabah pagebluk itu mulai berkurang dan akhirnya hilang sama sekali. Begitu juga dengan hama tikus yang menyerang lahan petani. Meski demikian, meski wabah pagebluk dan hama tikus sudah sirna, namun warga masih tak bisa tenang. Lantaran, sawahnya menjadi kering dan keras untuk dicangkuli karena kemarau yang berkepanjangan. Akhirnya, Mbah Buyut Karti menganjurkan untuk memakai kerbau dalam membajak sawahnya.
Dan upacara ritual “kebo-kebo”an adalah upacara di mana manusia dihiasi seperti kerbau. Di mana, kerbau yang diperankan manusia itu melambangkan betapa hubungan mitra antara petani dengan kerbau harus dipertahankan. Selain bertanduk, coretan hitam yang mewarnai seluruh badan orang yang dihiasi seperti kerbau itu dilambangkan sebagai simbol bahwasanya kerbau adalah salah satu binatang yang kuat dan merupakan tumpuan mata pencaharian masyarakat Alasmalang yang mayoritas sebagai petani.
·         Pembahasan Kesenian
Persyaratan Kebo-Keboan :
-          Gawangan
Gawangan ini sebagai tempat untuk menggantungkan berbagai macam hasil bumi Dusun Krajan Desa Alas Malang yang secara garis besar hasil bumi tersebut dibedakan menjadi polo pendem (hasil bumi yang digali dari dalam tanah seperti ubi kayu, ubi jalar, kentang, dan umbi-umbi lainnya)  dan polo gantung (papaya, mangga, kelapa, dan lain-lain). Gawangan yang dijadikan persyaratan ini sebanyak 11 sesuai dengan jumlah RT yang ada. Gawangan ini ditempatkan di 4 penjuru yaitu utara, timur, barat dan selatan.
-          Tumpeng
Jumlah tumpeng yang ada ditetapkan dengan jumlah yang ganjil. Tumpeng ini ditempatkan di perempatan dusun yang sekaligus sebagai tempat dan pusat pembukaan ritual Adat Kebo-Keboan.
-          Ancak
Jumlah ancak ini sebanyak kepala keluarga yang menetap di Dusun Krajan yaitu sekitar 625 KK.
-          Beras Kuning
Beras kuning ini dibuat oleh orang Pawang dan diyakini memiliki kekuatan magis, karena dalam pembuatannya biasanya sang Pawang melakukan puasa dan menghindari beberapa macam rintangan. Beras kuning inilah yang dijadikan bahan untuk roh-roh jahat dan juga mengandung kekuatan magis dengan cara menaburkan pada tempat-tempat tertentu.
-          Pitung Tawar
Digunakan untuk menawar atau menghilangkan hawa nafsu
-          Pari Jowo
Sebagai bahan dan persyaratan dalam persemaian yang merupakan salah satu tahapan dan proses dalam ritual Adat Kebo-Keboan.
-          Papan dan Menyan
Tempat inilah yang senantiasa dibawa sang Pawang dalam memimpin dan melaksanakan semua proses dan tahapan ritual Kebo-Keboan.
-          Pagelaran Wayang Kulit
Menurut Tetua Dusun Krajan hubungan antar Kebo-Keboan dengan pagelaran wayang kulit layaknya mempelai laki-laki dan perempuan. Dimana Kebo-Keboan sebagai mempelai laki-laki dan mempelai perempuannya adalah wayang kulit. Dalam rangka pelaksanaan ritual Adat Kebo-Keboan dilaksanakan pagelaran wayang kulit yang mengambil lakon atau cerita “Ruwatan Dewi Sri”.
Pelaku Upacara adat :
1.      Pemimpin Upacara (Pawang)
merupakan pelaksana adat yang merupakan keturunan dari Mbah Buyut Karti. Dalam Upacara ini, ada kyai yang juga dijadikan pemimpin upacara saat prosesi pembacaan doa.
2.      Penjelmaan Dewi Sri
merupakan simbolis dari kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan Dewi Sri. Perempuan yang memerankan Dewi Sri harus memiliki syarat-syarat tertentu. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka pelaksanaan upacara tersebut tidak akan tercapai. Syarat-syaratnya adalah: Masih keturunan Mbah Buyut Karti, Perawan / Gadis, Berperilaku Baik, Memiliki Wajah yang rupawan.
3.      Dayang Pengiring Dewi Sri
merupakan Para Gadis dari Desa Krajan yang memiliki criteria seperti Dewi Sri. Para Dayang bertugas membawa peras dan sesaji yang digunakan untuk pelaksanaan pawai ider bumi.
4.      Kebo-keboan
merupakan pelaksana setiap tahapan dalam pelaksanaan upacara, yang memiliki criteria Berbadan besar, sehat, kuat dan masih keturunan Mbaj Buyut Karti. Kebo-keboan ini berjumlah lima sampai sepuluh Pasang, satu pasang berjumlah tiga yaitu dua kerbau dan satu pengendali.
5.      Para Petani
 terlibat saat melaksanakan ider Bumi
6.      Buldrah
merupakan tokoh yang bertugas memimpin pelaksanaan kirab ider bumi. Yang di pilih adalah yang memiliki keahlian dibidang pertanian, dan biasanya merupakan penggerak warga dibidang pertanian.
7.      Modin Banyu
merupakan seorang yang mempunyai tugas sehari-hari yang mengatur sistim  pengairan.

Peralatan Upacara adat:
1.      Peralatan Pertanian
peralatan ini digunakan karena upacara adat ini berlatarbelakang tradisi masyarakat agraris, maka berbagai perlengkapan yang digunakan adalah: singkal, teter, pecut, sabit, cangkul, dan cingkek
2.      Songsong
merupakan payung besar yang digunakan untuk memayungi dewi sri, agar tidak tersengat terik matahari.


3.      Sesaji
 merupakan syarat terpenting dari tradisi ini yang apabila sesaji kurang, maka upacara yang dilaksanakan tidak sempurna. Sesaji diantaranya berupa peras, tumpeng agung, jenang Abang (bubur Merah), Bubur Putih, Bubur Kuning, Bubur Hitam, Bubur hijau / biru, peteteng, kendi, daun pisang, kemenyan, dan beras petung tawar.
4.      Tandu (tempat duduk Dewi Sri)
Tandu ini digunakan untuk tempat duduk dewi sri saat prosesi adat.

·         Bentuk Pagelaran
Upacara ini dilakukan satu kali dalam setahun yang dilakukan pada hari Minggu antara tanggal 1-10 Sura.  Upacara sengaja diadakan pada hari Minggu agar semua warga dapat mengikutinya, termasuk yang bekerja.  Untuk tahun ini, upacara telah dilakukan pada 25 November 2012 silam. Upacara ini sudah masuk ke dalam kalendar wisata di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.
Tahapan upacara
Sebelum upacara Kebo-keboan berlangsung, seluruh warga bergotong-royong membersihkan lingkungan dan menyiapkan segala keperluan upacara seperti tumpeng,  peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, inkung ayam, bungkil, singkal, pacul, pera, pitung tawar, beras, pisang, kelapa dan bibit tanaman padi.
Di sepanjang jalan yang ada di Dusun Krajan diletakkan berbagai hasil bumi seperti pisang, tebu, ketela, jagung, dan pala. Selain itu disiapkan bendungan yang nantinya digunakan untuk mengairi tanaman yang ditanam dalam upacara.
1.  Tahap selamatan di Petaunan.
Dalam tahap ini diadakan sambutan dan doa dari panitia upacara agar acara berlangsung dengan baik, lalu diakhiri dengan makan tumpeng yang telah disediakan.
2.  Tahap arak-arakan mengelingi Dusun Krajan
Setelah pesta tumpeng, puluhan warga akan melakukan arak-arakan di sepanjang Dusun Krajan.  Yang paling mencolok adalah manusia Kebo yang terdiri dari laki-laki kekar yang dilumuri cat dan arang sehingga seluruh tubuhnya berwarna hitam termasuk wajah, dengan rambut palsu hitam, tanduk, manusia kebo tersebut dihalau oleh para petani.
Manusia kebo tersebut berjalan bergerombol dan bertingkah seperti kebo, menyeruduk para penonton.  Penonton yang tertangkap manusia kebo harus rela dilumuri arang hitam yang ada di sekujur tubuh manusia kebo.  Sepanjang jalan yang dilalui sengaja dibanjiri air agar manusia kebo yang lewat dapat berkubang seperti kebo asli.
Selain manusia kebo yang terlihat unik, di belakang arak-arakan ada kereta yang terbuat dari hasil bumi, ditumpangi oleh sesosok perempuan cantik sebagai visualisasi Dewi Sri, yaitu dewi kesuburan. Dewi Sri dikelilingi beberapa petani dan di depannya ada empat perempuan tua membawa peralatan ke sawah yang menyimbolkan petani yang akan bekerja.
Dalam upacara ini seluruh kesenian seolah muncul, seperti gandrung, barong, janger, patrol, balaganjur, angklung paglak, jaranan, kuntulan, wayang kulit,bahkan reog Ponorogo yang menambah meriah suasana.

3.  Upacara kebo-keboan yang diadakan di daerah persawahan.
Arak-arakan berakhir di pusat kampung yang berupa daerah persawahan.  Dewi Sri turun dari kereta dan memberikan berkah pada petani serta membagikan benih padi untuk ditanam di pesawahan.
Saat benih ditanam, manusia kebo akan berlaku seperti kerbau betulan dengan membajak atau berkubang di sawah tersebut.  Setelah benih tertanam, peserta lain akan berebut untuk mengambil benih yang ditanam.  Menurut kepercayaan, benih tersebut dapat menolak bala dan membawa berkah.
Namun saat para peserta mengambil benih, manusia kebo akan berusaha mengusir pengambil benih, akan tetapi hal tersebut tidak sampai mencelakai peserta yang mengambil benih. Di sinilah letak kemeriahan terjadi, manusia kebo dan peserta pengambil benih bergumul dalam lumpur. Selesai upacara ini, warga pulang ke rumah masing-masing, ada yang membawa benih ada juga yang tidak.  Namun semua memperoleh kebahagiaan bersama.
Malam harinya, warga akan kembali ke Petaunan untuk menyaksikan wayang kulit yang mengisahkan Dewi Sri.  Dengan berakhirnya kesenian wayang kulit, maka berakhir pula upacara Kebo-keboan di Dusun Krajan tersebut.

    TINJAUAN BERBAGAI ASPEK
Dari serangkaian Tradisi Kebo-Keboan Alas Malang, kita dapat mengambil beberapa nilai, diantaranya :
1. Nilai seni dan budaya. Tradisi ini dapat memberikan budaya karena merupakan suatu kebiasaan dalam masyarakat yang masih bertahan dan dilaksanakan secara turun-temurun.
2. Nilai ketelitian dalam menyiapkan semua detail upacara sebaik mungkin.
3. Nilai social kemasyarakatan yang ditunjukkan warga demi berlangsungnya upacara. Melalui kegiatan ini, dapat dilihat bahwa masyarakat Alas Malang menjalin tali silahturahmi yang semakin erat dan menciptakan suasana rukun serta nyaman.
4. Nilai agama. Tradisi ini merupakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Tuhan YME atas segala limpahan rahmatNya.

 KESIMPULAN DAN SARAN
Meski zaman kian bergulir dan terus berusaha untuk melibas budaya-budaya lama, namun budaya warisan yang sudah turun temurun dilaksanakan rutin setiap tahun itu masih tetap bertahan dengan terus berupaya mempertahankan kemurnian dan kesakralan daripada kebudayaan itu sendiri. Salah satunya adalah tradisi Kebo-Keboan Alas malang. Selain sebagai suatu kesenian daerah, tradisi ini memberikan banyak nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat.  Oleh karena itu, mari kita bersama-sama menjaga dan melestarikan kebudaayaan ini agar Banyuwangi tetap menjadi kota yang indah akan keanekaragaman budayanya.

 DAFTAR PUSTAKA

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sheila Nurvatisna Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review