PENGERTIAN
Menurut
Kamus Bahasa Indonesia,
Tradisi
adalah (1) adat kebiasaan turun-temurun (dr nenek moyang) yg masih dijalankan
dl masyarakat; (2) penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yg telah ada
merupakan yg paling baik dan benar: perayaan hari besar agama itu janganlah
hanya merupakan -- , haruslah dihayati maknanya.
Kebo
atau kerbau adalah (1) binatang memamah biak yg biasa diternakkan untuk diambil
dagingnya atau untuk dipekerjakan (membajak, menarik pedati), rupanya spt
lembu dan agak besar, tanduknya panjang, suka berkubang, umumnya berbulu
kelabu kehitam-hitaman.
Alas
Malang adalah salah satu nama daerah di Banyuwangi, Jawa Timur.
Bila
mendengar kata ‘Barong’, mungkin yang pertama kali muncul dalam benak
adalah sebuah pertunjukkan tari spektakuler dari Bali. Barong memang dikenal
luas sebagai salah satu karakter dalam mitologi Bali.
Barong
dalam mitologi Bali adalah perlambang kebaikan, roh pelindung. Musuhnya ialah
Rangda si tukang sihir jahat. Seni drama tari yang mengisahkan pertempuran
Barong melawan Rangda, lazim disuguhkan sebagai atraksi wisata, dan sudah
dikenal oleh banyak kalangan.
Tradisi
ider bumi digelar setiap tahun sekali pada hari kedua bulan syawal dan sudah
dilakukan turun temurun oleh warga desa Kemiren.
Beda lagi
dengan di Banyuwangi, Jawa Timur. Ada
Ritual Upacara adat yang bernama barong Ider Bumi, yang dilangsungkan di Desa
Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.
Barong Ider Bumi merupakan ritual upacara bersih desa di hari ke – 2 setelah
lebaran yang dilakukan oleh masyarakat suku osing di desa tersebut. Acara ini
merupakan agenda tahunan yang rutin di gelar dengan swadaya masyarakat.
Dalam ritual Barong Ider
Bumi tersebut, barong wajib diarak keliling desa dengan diiringi nyanyian
macapat (tembang Jawa) yang berisi doa dan pemujaan terhadap Tuhan. Kata ider
bumi merupakan penggabungan dari dua kata yaitu ider dan bumi. Ider berarti berkeliling
kemana-mana, dan bumi artinya jagat atau tempat berpijak. Dari arti kedua
kata tersebut dapat dimengerti bahwa Ider Bumi dimaksudkan adalah kegiatan
mengeliling tempat berpijak atau bumi.
Jadi, sesuai dengan namanya, inti dari
ritual Barong Ider Bumi adalah mengarak barong memutari desa.
Sebelum Barong diarak keliling desa, para sesepuh memainkan angklung di balai desa untuk memulai ritual. Setelah itu, orang-orang mulai berbaris mengarak barong, sambil menabur beras kuning bercampur uang receh di sepanjang perjalanan.
Barong diarak dari pintu masuk desa sampai pintu
keluar desa sepanjang kurang lebih 3 kilometer, dan kemudian arak-arakan pun
berakhir. Ibu-ibu menyiapkan tumpeng dan pecel pitik (pecel ayam) untuk
selamatan yang digelar di sepanjang jalan desa.
Upacara adat Barong
Ider Bumi merupakan upacara bernuansa sakral dari Desa Wisata Using Kemiren,
Kecamatan Glagah, Banyuwangi.
Dalam upacara
tersebut, tujuh wanita membawa ubo rampe. Lima wanita membawa beras kuning
dan uang sejumlah Rp 99.900, sedangkan dua wanita lainnya membawa kendi. Ada
juga sejumlah anggota mocoan. Mereka dengan khidmat mengikuti upacara itu.
Tokoh masyarakat Kemiren, Adi Purwadi mengatakan, acara Barong Ider Bumi
sudah dilakukan sejak tahun 1940.
‘’Kenapa
pelaksanaanya serba 2, karena kekuatan pelestarian alam ada 2, yakni baik dan
buruk, wanita dan laki-laki.’’ Dijelaskan, konon dulu ada pagebluk sejenis
penyakit atau bencana melanda masyarakat Kemiren. Setelah itu, tokoh
masyarakat mendapat wangsit melewati mimpi dari Buyut Cili yang merupakan
tetua Kemiren.
Dia mengatakan, untuk
menghilangkan pagebluk itu harus segera dilakukan Barong Ider Bumi. ‘’Dalam
iring-iringan, ada barong sebagai lambang persatuan, uang koin sebagai
pengusir lelembut, dan sembur uthik-uthik beras kuning,’’ sebutnya.
Diawali dengan
permainan angklung sesepuh desa setempat, warga mengarak barong mengelilingi
jalan desa. Sembari mengarak barong, beras kuning bercampur uang receh
ditabur di sepanjang perjalanan. Anak-anak pun berebut uang recehan sedang
orang tua berebut mengambil pisang yang telah dipersiapkan di pinggir jalan.
Setelah menyusuri
jalan desa, arak-arakan pun berakhir. Sejumlah ibu-ibu telah menyiapkan
tumpeng dan pecel pitik (pecel ayam) untuk selamatan yang digelar di
tengah-tengah jalan desa. Acara makan bersama yang memungkasi ritual hari itu
terasa guyub dan mencerminkan kebersamaan khas masyarakat desa.
Macetnya jalanan traffic lebaran dan teriknya
mentari yang serasa membakar ubun-ubun menjadi teman yang kurang bersahabat
dalam perjalanan kami ke desa Kemiren kecamatan Glagah Banyuwangi untuk
menyaksikan acara adat “Barong Ider Bumi’ siang ini. Bersama dayu adikku yang
kebetulan mengadakan penelitian untuk skripsinya dengan objek adat desa
Kemiren, aku putuskan untuk pergi kesana agar bisa memotret acara yang cuma
diadakan setahun sekali itu. Perjalanan yang lebih lambat dari biasanya kami
akhiri di rumah Pak Carik Kemiren dimana Pak Rato sudah menunggu 2 jam
lamanya.
Pak Rato adalah dosen pembimbing skripsi Dayu dan
kebetulan beliau adalah ketua tim peneliti UNEJ di desa Kemiren yang hampir 4
tahun membaur dengan masyarakat Kemiren dan pernah 1,5 tahun menetap disana
dalam masa penelitiannya dulu. Sambutan luar biasa untuk seorang “aku” yang
bukan apa-apa dari Pak Carik, Pak Rato dan Istrinya yang dengan spontan
mengatakan “cantik sekali” saat melihat wajahku membuat kepenatan yang terasa
di sepanjang perjalanan langsung sirna seketika dan mimpi untuk meneguk es
kelapa muda saking panasnya cuaca langsung musnah oleh senyum ramah si
empunya rumah.
Seperti rumahku sendiri, seperti
kampungku sendiri” langsung kurasa saat sandarkan tubuhku di sofa ruang tamu
Pak Carik setelah bersalaman dengan segenap orang yang ada disana, betapa
bersahabatnya. Sambil menunggu jam dua siang tepat acara Barong Ider Bumi
akan dimulai kami berdiskusi dan bercerita tentang Kemiren.
Awalnya aku sama sekali tidak tertarik karena niat
kedatanganku kesana hanyalah untuk motret agar bisa menepati janjiku pada si
Mico, tapi ternyata pembicaraan sangatlah menarik hingga aku ikut serta di
dalamnya dan suasana kekeluargaan menjadi semakin terasa. Sayang Pak Rato
tidak bisa menyaksikan acara Ider Bumi karena harus segera kembali ke Jember,
beliau kesana untuk menitipkan kami pada Pak Carik agar kegiatan kami disana
lancar serta menyuruh kami yang mewakili kealpaannya dalam acara Ider Bumi
tersebut.
Tepat jam dua siang acara dimulai setelah sebelumnya
disajikan tari-tarian khas desa kemiren. Start acara adalah batas desa sebelah
timur dengan rute arak-arakan Barong sepanjang jalan desa hingga batas desa
sebelah barat kemudian kembali lagi ke timur, di masing-masing batas tersebut
di dirikan Anjang-anjang yang sangat tinggi dan ditempati oleh penabuh
gamelan sebagai tanda .
Karena itulah acara tersebut dinamakan “Barong Ider
bumi” yang dalam Bahasa Indonesia bisa kuartikan “Barong Keliling Tanah”.
Acara tersebut dilaksanakan setiap tanggal 2 Syawal atau hari kedua Idul
Fitri untuk menghormati danyang desa Kemiren agar kemakmuran desa tetap
terjaga dan terjauhkan dari bencana.
Seperti namanya, Barong adalah ikon penting dalam
acara tersebut. Barong adalah kesenian khas desa Kemiren yang berbentuk
tarian dimana dalam acara Ider Bumi ada empat jenis tarian Barong yang
ditampilkan dan mempunyai cerita sendiri-sendiri. Keempat jenis Barong
tersebut adalah Barong Tua, Barong Remaja, Barong anak-anak dan Barongsai.
Keempat jenis Barong adalah sebagai lambang generasi-generasi yang menghuni
desa Kemiren. Diikutkannya Barongsai dalam acara tersebut karena di desa
Kemiren yang terkenal dengan Kampung Using ternyata ada etnik lain yang
menghuninya, yaitu Tionghoa.
Aku menggambarkan acara Ider Bumi ini sama dengan
karnaval Agustusan, namun seorang pinisepuh Kemiren pemimpin barisan berkata
dengan bangganya padaku yang sedang memotretnya “ikai arane adat (ini namanya
adat)!”, dan aku tersadar kalau keduanya sangatlah berbeda meskipun
performance nya sama. Akupun semakin antusias memotret dengan keyakinan,
karena ini acara adat maka tak banyak tempat yang menyediakan momen seperti
ini, tidak seperti karnaval Agustusan yang hampir tiap daerah mengadakan.
Mungkin karena itu juga aku melihat banyak orang membawa senjata pembuat
keabadian (baca kamera) bertebaran berusaha mengabadikannya, ini etnik dan
ini unik.
Aku sangat beruntung bisa menyaksikan momen ini
dengan perjuangan yang tidak seberapa, karena aku tidak usah pergi jauh-jauh
untuk bisa menyaksikannya dan karena momen ini adalah salah satu kebudayaan
daerahku sendiri. “Banyuwangi itu asyik, karenanya tiap tahun saya selalu
kembali lagi kesini.” Aku mendengar apology itu dari seseorang yang kutanya
kenapa jauh-jauh dari Bandung mau mengorbankan lebarannya cuma buat motret
acara kecil seperti ini.
Melihatku berjalan sambil tercengang karena
jawabannya, dia semakin asyik mengutak-atik kamera SLR D-80 nya sambil
berkata “ Kalo hobby diteruskan saja, saya liat kamu cukup tertarik, bagus.
Saya dulu cuma berawal dari dream, dreaming pengen punya kamera”. “Gak
apa-apa pake powershot, dulu saya pernah juara lomba foto bunga pake
powershot”, ia tambahkan itu saat melihat wajah skeptisku. Sambil tertawa
kecil melihatku seperti orang tolol karena masih saja tercengang, ia
memperlihatkan D-80 nya yang ternyata ada banyak foto diriku yang sedang
ribet motret disana. Hah…????!!! Orang yang aneh…, dan ternyata kutahu dia
adalah seorang dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Seni Bandung. Pantes!
Tak terasa arak-arakan sudah hampir sampai di
finish. Gila!!! Total 4 km aku lari pontang-panting buat motret siang ini.
Anehnya aku melakukan semua dengan senang hati, tanpa keluhan, bahagia dan
rasa puas luar biasa. Oh tidak!!! Aku lagi-lagi dibuat tercengang saat dengan
spontan orang-orang tiba-tiba minggir dan mengosongkan jalanan panjang
kemudian menata tikar-tikar di tengah jalan dengan serempak. Wanita
berpakaian jebeng (kebaya dengan bawahan selendang gajah oling yang di pake
cuma sampai bawah lutut) menata bakul-bakul mereka berjajar yang ternyata
berisi tumpeng, ingkung serta bumbu dan parutan kelapa.
Mereka kemudian mencampur bumbu, parutan kelapa dan
ingkung yang sudah di suwir-suwir menjadi adonan “pecel pitik”. Pak Carik
mempersilakan aku duduk bersama dengannya. Di depanku ada dua dosen Sastra
Inggris Unej bersama turisnya yang kukenal di jalan saat sibuk motret tadi.
Bau tumpeng yang terbuat dari beras “Binjah Arum”, beras khas desa Kemiren yang
menusuk-nusk hidung semakin menggodaku untuk segera menikmati “pecel pitik”
itu. Setelah doa dan ucapan syukur atas terlaksananya acara, aku bersama
semua warga Kemiren serempak menyantap seribu tumpeng dan pecel pitiknya.
Tawa, canda dan senyum ramah penuh kekeluargaan yang tercipta membuatku
serasa telah lama menjadi bagian dari mereka.
Wonderful experience dan banyak foto untuk sahabatku
mico sudah ada di tangan. Petang itu aku pulang dengan perasaan senang bukan
alang kepalang dan apa yang sudah kudapatkan membuat macetnya jalanan tak
lagi kuhiraukan. Otakku malah sibuk menganalisis semua kejadian yang baru
saja kualami. Tak terasa rasa nasionalisku tumbuh hingga tersirat betapa
bangganya aku hidup disini, betapa bangganya aku menjadi orang Banyuwangi.
Berjuta mimpiku menjamah negeri orang, satu keinginanku aku tetap bisa
kembali kesini. Untuk satu sore yang tak terlupa
Menurut
definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa tradisi Barong
Ider Bumi merupakan salah satu upacara adat tahunan yang dilakukan masyarakat
suku Using, Banyuwangi. Ritual ini masih sering diadakan di desa adat Desa
Kemiren, kecamatan Glagah, Banyuwangi. Kegiatan Barong Ider Bumi ini rutin
diadakan setiap tahun, biasanya dilaksanakan dua hari setelah Hari Raya Idul
Fitri. Iring-iringan Barong itu diarak keliling kampung dengan dikawal tujuh
perempuan tua yang membawa Ubo Rampe (perkakas ritual). Kirab Barong itu juga
disertai lima perempuan pembawa beras kuning dan uang Rp 99.900. Ada juga dua
perempuan pembawa kendi. Dalam iring-iringan Barong Ider Bumi diharuskan ada
'Barong' sebagai lambang persatuan. 'Uang Koin' sebagai pengusir lelembut,
dan 'Sembur uthik-uthik' beras kuning sebagai pelengkap.
Banyuwangi – Ratusan suku
Osing Desa Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur menggelar upacara adat atau ritual
Barong Ider Bumi di Desa Wisata Kemiren, Sabtu (11/9). Masyarakat Osing di
Kemiren meyakini ritual Barong Ider Bumi dapat mengusir pagebluk atau
penyakit dan bencana yang melanda Kemiren.
Barong Ider Bumi dibawa
keliling Desa Kemiren, disertai dengan penebaran uang koin dan beras kuning
oleh pemimpin iring-iringan. Ritual itu yang diartikan sebagai lambang
pengusir lelembut. Sembari iring-iringan berjalan mengelilingi desa Kemiren,
para ibu-ibu yang tinggal di desa setempat bertugas untuk menyiapkan makanan
yang akan disajikan untuk makan bersama.
LATAR BELAKANG
Banyuwangi merupakan salah satu daerah
yang memiliki berbagai macam kebudayaan. Satu diantaranya adalah Tradisi
Kebo-Keboan Alas Malang. Meski zaman kian
bergulir dan terus berusaha untuk melibas budaya-budaya lama, namun budaya
warisan yang sudah turun temurun dilaksanakan rutin setiap tahun itu masih
tetap bertahan dengan terus berupaya mempertahankan kemurnian dan kesakralan
daripada kebudayaan itu sendiri. Tradisi Adat
Kebo-Keboan Alas Malang merupakan satu diantara dua wisata Adat yang bisa
dinikmati oleh wisatawan yang mengunjungi Kabupaten Banyuwangi pada Bulan
Muharram. Prosesi ini berhubungan dengan situs kesuburan, syukuran serta do'a
kepada Tuhan agar para petani diberi keselamatan dan kesejahteraan serta
mendapat panen yang melimpah di masa yang akan datang. Awalnya, upacara ini
diadakan untuk memohon turunnya hujan saat kemarau panjang, dengan turunnya
hujan berarti bercocok tanam segera bisa dilaksanakan.
|
·
Asal Usul Kesenian
Ritual
upacara adat “kebo-kebo”-an di Desa Alasmalang, Kec. Singojuruh-Banyuwangi itu
diperkirakan muncul sekitar abad ke-18 Masehi. Dikisahkan, pada saat itu
masyarakat Desa Alasmalang dilanda musibah brindeng atau pagebluk (wabah
penyakit) yang berkepanjangan. Yakni, jenis penyakit yang snagat menakutkan dan
sulit diketemukan obatnya. Karena, bagi yang terkena pagi maka sore harinya
akan mati, jika malam kena, paginya akan mati, begitulah seterusnya. Selain itu, di tengah bencana seperti itu,
masyarakat Alasmalang yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani itu
pun, lahan pertaniannya dilanda hama tikus yang amat besar. Akibatnya, panenan
menjadi rusak dan gagal.
Akhirnya,
salah satu sesepuh desa yang biasa dipanggil Mbah Buyut Karti mengajak warga
untuk melakukan ruwatan atau selamatan desa agar wabah brindeng atau pagebluk
serta hama yang menyerang desanya segera lenyap. Anehnya, setelah ruwatan
tersebut digelar, berangsur-angsur wabah pagebluk itu mulai berkurang dan
akhirnya hilang sama sekali. Begitu juga dengan hama tikus yang menyerang lahan
petani. Meski demikian, meski wabah pagebluk dan hama tikus sudah sirna, namun
warga masih tak bisa tenang. Lantaran, sawahnya menjadi kering dan keras untuk
dicangkuli karena kemarau yang berkepanjangan. Akhirnya, Mbah Buyut Karti
menganjurkan untuk memakai kerbau dalam membajak sawahnya.
Dan
upacara ritual “kebo-kebo”an adalah upacara di mana manusia dihiasi seperti
kerbau. Di mana, kerbau yang diperankan manusia itu melambangkan betapa
hubungan mitra antara petani dengan kerbau harus dipertahankan. Selain
bertanduk, coretan hitam yang mewarnai seluruh badan orang yang dihiasi seperti
kerbau itu dilambangkan sebagai simbol bahwasanya kerbau adalah salah satu
binatang yang kuat dan merupakan tumpuan mata pencaharian masyarakat Alasmalang
yang mayoritas sebagai petani.
·
Pembahasan Kesenian
Persyaratan
Kebo-Keboan :
-
Gawangan
Gawangan
ini sebagai tempat untuk menggantungkan berbagai macam hasil bumi Dusun Krajan
Desa Alas Malang yang secara garis besar hasil bumi tersebut dibedakan menjadi
polo pendem (hasil bumi yang digali dari dalam tanah seperti ubi kayu, ubi
jalar, kentang, dan umbi-umbi lainnya)
dan polo gantung (papaya, mangga, kelapa, dan lain-lain). Gawangan yang
dijadikan persyaratan ini sebanyak 11 sesuai dengan jumlah RT yang ada.
Gawangan ini ditempatkan di 4 penjuru yaitu utara, timur, barat dan selatan.
-
Tumpeng
Jumlah
tumpeng yang ada ditetapkan dengan jumlah yang ganjil. Tumpeng ini ditempatkan
di perempatan dusun yang sekaligus sebagai tempat dan pusat pembukaan ritual
Adat Kebo-Keboan.
-
Ancak
Jumlah
ancak ini sebanyak kepala keluarga yang menetap di Dusun Krajan yaitu sekitar
625 KK.
-
Beras Kuning
Beras
kuning ini dibuat oleh orang Pawang dan diyakini memiliki kekuatan magis,
karena dalam pembuatannya biasanya sang Pawang melakukan puasa dan menghindari
beberapa macam rintangan. Beras kuning inilah yang dijadikan bahan untuk
roh-roh jahat dan juga mengandung kekuatan magis dengan cara menaburkan pada tempat-tempat
tertentu.
-
Pitung Tawar
Digunakan
untuk menawar atau menghilangkan hawa nafsu
-
Pari Jowo
Sebagai
bahan dan persyaratan dalam persemaian yang merupakan salah satu tahapan dan
proses dalam ritual Adat Kebo-Keboan.
-
Papan dan Menyan
Tempat
inilah yang senantiasa dibawa sang Pawang dalam memimpin dan melaksanakan semua
proses dan tahapan ritual Kebo-Keboan.
-
Pagelaran Wayang Kulit
Menurut
Tetua Dusun Krajan hubungan antar Kebo-Keboan dengan pagelaran wayang kulit
layaknya mempelai laki-laki dan perempuan. Dimana Kebo-Keboan sebagai mempelai
laki-laki dan mempelai perempuannya adalah wayang kulit. Dalam rangka
pelaksanaan ritual Adat Kebo-Keboan dilaksanakan pagelaran wayang kulit yang
mengambil lakon atau cerita “Ruwatan Dewi Sri”.
Pelaku Upacara adat :
1. Pemimpin
Upacara (Pawang)
merupakan pelaksana adat yang
merupakan keturunan dari Mbah Buyut Karti. Dalam Upacara ini, ada kyai yang
juga dijadikan pemimpin upacara saat prosesi pembacaan doa.
2.
Penjelmaan Dewi Sri
merupakan simbolis dari kepercayaan
masyarakat terhadap keberadaan Dewi Sri. Perempuan yang memerankan Dewi Sri
harus memiliki syarat-syarat tertentu. Apabila salah satu syarat tidak
terpenuhi, maka pelaksanaan upacara tersebut tidak akan tercapai.
Syarat-syaratnya adalah: Masih keturunan Mbah Buyut Karti, Perawan / Gadis,
Berperilaku Baik, Memiliki Wajah yang rupawan.
3.
Dayang Pengiring Dewi Sri
merupakan
Para Gadis dari Desa Krajan yang memiliki criteria seperti Dewi Sri. Para
Dayang bertugas membawa peras dan sesaji yang digunakan untuk pelaksanaan pawai
ider bumi.
4.
Kebo-keboan
merupakan
pelaksana setiap tahapan dalam pelaksanaan upacara, yang memiliki criteria
Berbadan besar, sehat, kuat dan masih keturunan Mbaj Buyut Karti. Kebo-keboan
ini berjumlah lima sampai sepuluh Pasang, satu pasang berjumlah tiga yaitu dua
kerbau dan satu pengendali.
5.
Para Petani
terlibat saat melaksanakan ider Bumi
6.
Buldrah
merupakan
tokoh yang bertugas memimpin pelaksanaan kirab ider bumi. Yang di pilih adalah
yang memiliki keahlian dibidang pertanian, dan biasanya merupakan penggerak
warga dibidang pertanian.
7.
Modin Banyu
merupakan
seorang yang mempunyai tugas sehari-hari yang mengatur sistim pengairan.
Peralatan Upacara adat:
1.
Peralatan Pertanian
peralatan ini digunakan karena upacara adat ini
berlatarbelakang tradisi masyarakat agraris, maka berbagai perlengkapan yang
digunakan adalah: singkal, teter, pecut, sabit, cangkul, dan cingkek
2.
Songsong
merupakan payung besar yang digunakan untuk memayungi dewi
sri, agar tidak tersengat terik matahari.
3.
Sesaji
merupakan syarat terpenting dari tradisi ini yang apabila
sesaji kurang, maka upacara yang dilaksanakan tidak sempurna. Sesaji
diantaranya berupa peras, tumpeng agung, jenang Abang (bubur Merah), Bubur
Putih, Bubur Kuning, Bubur Hitam, Bubur hijau / biru, peteteng, kendi, daun
pisang, kemenyan, dan beras petung tawar.
4.
Tandu (tempat duduk Dewi Sri)
Tandu ini digunakan untuk tempat duduk dewi sri saat prosesi
adat.
·
Bentuk Pagelaran
Upacara ini dilakukan
satu kali dalam setahun yang dilakukan pada hari Minggu antara tanggal 1-10
Sura. Upacara sengaja diadakan pada hari Minggu agar semua warga dapat
mengikutinya, termasuk yang bekerja. Untuk
tahun ini, upacara telah dilakukan pada 25 November 2012 silam. Upacara ini
sudah masuk ke dalam kalendar wisata di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Banyuwangi.
Tahapan upacara
Sebelum upacara Kebo-keboan berlangsung, seluruh warga bergotong-royong membersihkan lingkungan dan menyiapkan segala keperluan upacara seperti tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, inkung ayam, bungkil, singkal, pacul, pera, pitung tawar, beras, pisang, kelapa dan bibit tanaman padi.
Di sepanjang jalan yang ada di Dusun Krajan diletakkan berbagai hasil bumi seperti pisang, tebu, ketela, jagung, dan pala. Selain itu disiapkan bendungan yang nantinya digunakan untuk mengairi tanaman yang ditanam dalam upacara.
1. Tahap selamatan di Petaunan.
Dalam tahap ini diadakan sambutan dan doa dari panitia upacara agar acara berlangsung dengan baik, lalu diakhiri dengan makan tumpeng yang telah disediakan.
2. Tahap arak-arakan mengelingi Dusun Krajan
Setelah pesta tumpeng, puluhan warga akan melakukan arak-arakan di sepanjang Dusun Krajan. Yang paling mencolok adalah manusia Kebo yang terdiri dari laki-laki kekar yang dilumuri cat dan arang sehingga seluruh tubuhnya berwarna hitam termasuk wajah, dengan rambut palsu hitam, tanduk, manusia kebo tersebut dihalau oleh para petani.
Manusia kebo tersebut berjalan bergerombol dan bertingkah seperti kebo, menyeruduk para penonton. Penonton yang tertangkap manusia kebo harus rela dilumuri arang hitam yang ada di sekujur tubuh manusia kebo. Sepanjang jalan yang dilalui sengaja dibanjiri air agar manusia kebo yang lewat dapat berkubang seperti kebo asli.
Selain manusia kebo yang terlihat unik, di belakang arak-arakan ada kereta yang terbuat dari hasil bumi, ditumpangi oleh sesosok perempuan cantik sebagai visualisasi Dewi Sri, yaitu dewi kesuburan. Dewi Sri dikelilingi beberapa petani dan di depannya ada empat perempuan tua membawa peralatan ke sawah yang menyimbolkan petani yang akan bekerja.
Dalam upacara ini seluruh kesenian seolah muncul, seperti gandrung, barong, janger, patrol, balaganjur, angklung paglak, jaranan, kuntulan, wayang kulit,bahkan reog Ponorogo yang menambah meriah suasana.
Tahapan upacara
Sebelum upacara Kebo-keboan berlangsung, seluruh warga bergotong-royong membersihkan lingkungan dan menyiapkan segala keperluan upacara seperti tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, inkung ayam, bungkil, singkal, pacul, pera, pitung tawar, beras, pisang, kelapa dan bibit tanaman padi.
Di sepanjang jalan yang ada di Dusun Krajan diletakkan berbagai hasil bumi seperti pisang, tebu, ketela, jagung, dan pala. Selain itu disiapkan bendungan yang nantinya digunakan untuk mengairi tanaman yang ditanam dalam upacara.
1. Tahap selamatan di Petaunan.
Dalam tahap ini diadakan sambutan dan doa dari panitia upacara agar acara berlangsung dengan baik, lalu diakhiri dengan makan tumpeng yang telah disediakan.
2. Tahap arak-arakan mengelingi Dusun Krajan
Setelah pesta tumpeng, puluhan warga akan melakukan arak-arakan di sepanjang Dusun Krajan. Yang paling mencolok adalah manusia Kebo yang terdiri dari laki-laki kekar yang dilumuri cat dan arang sehingga seluruh tubuhnya berwarna hitam termasuk wajah, dengan rambut palsu hitam, tanduk, manusia kebo tersebut dihalau oleh para petani.
Manusia kebo tersebut berjalan bergerombol dan bertingkah seperti kebo, menyeruduk para penonton. Penonton yang tertangkap manusia kebo harus rela dilumuri arang hitam yang ada di sekujur tubuh manusia kebo. Sepanjang jalan yang dilalui sengaja dibanjiri air agar manusia kebo yang lewat dapat berkubang seperti kebo asli.
Selain manusia kebo yang terlihat unik, di belakang arak-arakan ada kereta yang terbuat dari hasil bumi, ditumpangi oleh sesosok perempuan cantik sebagai visualisasi Dewi Sri, yaitu dewi kesuburan. Dewi Sri dikelilingi beberapa petani dan di depannya ada empat perempuan tua membawa peralatan ke sawah yang menyimbolkan petani yang akan bekerja.
Dalam upacara ini seluruh kesenian seolah muncul, seperti gandrung, barong, janger, patrol, balaganjur, angklung paglak, jaranan, kuntulan, wayang kulit,bahkan reog Ponorogo yang menambah meriah suasana.
3. Upacara kebo-keboan yang diadakan di daerah persawahan.
Arak-arakan berakhir di pusat kampung yang berupa daerah persawahan. Dewi Sri turun dari kereta dan memberikan berkah pada petani serta membagikan benih padi untuk ditanam di pesawahan.
Saat benih ditanam, manusia kebo akan berlaku seperti kerbau betulan dengan membajak atau berkubang di sawah tersebut. Setelah benih tertanam, peserta lain akan berebut untuk mengambil benih yang ditanam. Menurut kepercayaan, benih tersebut dapat menolak bala dan membawa berkah.
Namun saat para peserta mengambil benih, manusia kebo akan berusaha mengusir pengambil benih, akan tetapi hal tersebut tidak sampai mencelakai peserta yang mengambil benih. Di sinilah letak kemeriahan terjadi, manusia kebo dan peserta pengambil benih bergumul dalam lumpur. Selesai upacara ini, warga pulang ke rumah masing-masing, ada yang membawa benih ada juga yang tidak. Namun semua memperoleh kebahagiaan bersama.
Malam harinya, warga akan kembali ke Petaunan untuk menyaksikan wayang kulit yang mengisahkan Dewi Sri. Dengan berakhirnya kesenian wayang kulit, maka berakhir pula upacara Kebo-keboan di Dusun Krajan tersebut.
TINJAUAN
BERBAGAI ASPEK
Dari serangkaian
Tradisi Kebo-Keboan Alas Malang, kita dapat mengambil beberapa nilai, diantaranya
:
1. Nilai seni dan budaya. Tradisi ini dapat memberikan budaya karena merupakan suatu kebiasaan dalam masyarakat yang masih bertahan dan dilaksanakan secara turun-temurun.
2. Nilai ketelitian dalam menyiapkan semua detail upacara sebaik mungkin.
3. Nilai social kemasyarakatan yang ditunjukkan warga demi berlangsungnya upacara. Melalui kegiatan ini, dapat dilihat bahwa masyarakat Alas Malang menjalin tali silahturahmi yang semakin erat dan menciptakan suasana rukun serta nyaman.
4. Nilai agama. Tradisi ini merupakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Tuhan YME atas segala limpahan rahmatNya.
1. Nilai seni dan budaya. Tradisi ini dapat memberikan budaya karena merupakan suatu kebiasaan dalam masyarakat yang masih bertahan dan dilaksanakan secara turun-temurun.
2. Nilai ketelitian dalam menyiapkan semua detail upacara sebaik mungkin.
3. Nilai social kemasyarakatan yang ditunjukkan warga demi berlangsungnya upacara. Melalui kegiatan ini, dapat dilihat bahwa masyarakat Alas Malang menjalin tali silahturahmi yang semakin erat dan menciptakan suasana rukun serta nyaman.
4. Nilai agama. Tradisi ini merupakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Tuhan YME atas segala limpahan rahmatNya.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Meski zaman kian
bergulir dan terus berusaha untuk melibas budaya-budaya lama, namun budaya
warisan yang sudah turun temurun dilaksanakan rutin setiap tahun itu masih
tetap bertahan dengan terus berupaya mempertahankan kemurnian dan kesakralan
daripada kebudayaan itu sendiri. Salah satunya adalah tradisi Kebo-Keboan Alas
malang. Selain sebagai suatu kesenian daerah, tradisi ini memberikan banyak
nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Oleh
karena itu, mari kita bersama-sama menjaga dan melestarikan kebudaayaan ini
agar Banyuwangi tetap menjadi kota yang indah akan keanekaragaman budayanya.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar