Senin, 14 April 2014

TRADISI GREDOAN

Diposting oleh Unknown di 06.59


    I.        Pengertian
Tradisi merupakan wujud kebudayaan yang kedua, yaitu wujud suatu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat atau sering disebut sistem sosial.
Perkawinan adalah akad perkawinan yang shahih atau akad yang mengakibatkan halalnya suatu hubungan suami istri.
Gredoan yang merupakan salah satu budaya lokal masyarakat using sebagai mekanisme perjodohan.


  II.        Latar Belakang/Selayang Pandang
Di beberapa daerah yang ada di Indonesia khususnya, tradisi perkawinan masih membatasi dalam hal perjodohan. Pada masyarakat using Banyuwangi proses pernikahan biasanya hanya terjadi dalam desanya sendiri atau sukunya sendiri. Salah satu tradisi perjodohan yang ada di Banyuwangi salah satunya adalah gredoan yang merupakan salah satu budaya lokal masyarakat using sebagai mekanisme perjodohan.
Gredoan berasal dari bahasa Using, ”gredu”, atau bahasa Jawa kuno, ”gridu”, yang berarti menggoda. Merupakan tradisi masyarakat Using, suatu subkultur di Jawa Timur di samping subkultur Arek, Mataraman, Madura, Pendalungan, dan Tengger. Masyarakat subkultur Using merupakan mayoritas penduduk Banyuwangi. Secara fisik tidak ada bedanya antara masyarakat Using dan Jawa. Ciri utamanya adalah dialeknya. Adapun gredoan hanya ada di empat desa, yaitu Cangkring, Kecamatan Rogojampi, dan tiga desa di Kecamatan Kabat, yaitu Desa Gombolirang, Macanputih, dan Tambong.


III.        Pembahasan
Tradisi gredoan masyarakat subkultur Using, Banyuwangi, Jawa Timur, dilahirkan sebagai instrumen untuk mempertemukan lelaki dan perempuan sebagai proses menuju perjodohan secara bermartabat.
Pada masyarakat Using Banyuwangi proses pencarian jodoh atau perjodohan dilakukan dengan berbagai cara dan telah menjadi tradisi serta warisan dari nenek moyangnya. Tradisi perjodohan tersebut diantaranya tradisi Gredoan, Bathokan, dan Mlayokaken. Bentuk perjodohan dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol yang bertujuan untuk menunjukkan kasih sayangnya, seperti penggunaan Basanan atau Wangsalan. Tradisi perjodohan yang hingga sekarang masih tetap eksis dalam masyarakat Using secara keseluruhan adalah tradisi Gredoan. Gredoan dalam bahasa Using berarti saling menggoda (Nggridu = goda) antara jejaka dan gadis. Dalam hal tersebut dilakukan dengan artian positif karena Gredoan yang dilakukan adalah dengan cara baik-baik untuk mencari pasangan. Gredoan dipahami sebagai sebuah mekanisme budaya lokal dalam proses melakukan gidaan terhadap lawan jenis, untuk kemudian menuju jenjang pacaran dan perkawinan. Gredoan sebenarnya berkisar pada masalah jalinan rasa senang dan cinta antara seorang laki-laki dan wanita muda, sehingga sifatnya dapat dikatakan sangat universal sekali. Meskipun demikian Gredoan mempunyai keistimewaan tersendiri yang terletak pada perilaku pelaku dan dialognya.
Pada masyarakat Using Banyuwangi, perilaku demikian digambarkan dengan mengadakan suatu upacara perjodohan atau Gredoan. Pada masyarakat Using di Desa Macan Putih, Gredoan setiap tahun dilaksanakan tepat pada bulan Maulud Nabi Muhammad SAW. Upacara perjodohan tersebut memanfaatkan kegiatan-kegiatan dalam peringatan Maulud Nabi seperti karnaval. Karnaval merupakan salah satu bentuk peringatan Maulud Nabi pada masyarakat Using yang bentuknya berupa pertunjukan seni dan atraksi. Pada kegiatan ini mengundang banyak perhatian orang bayak baik dari dusun/desa lain. Hal yang demikian menyebabkan kemudian dimanfaatkan oleh para jejaka gredo atau menggoda para gadis pada saat melihat karnaval baik yang ada di teras rumah maupun di tempat umum.
Gredoan merupakan salah satu budaya lokal masyarakat Using tentang mekanisme perjodohan. Gredoan yang terjadi sekarang menjadi peristiwa adat yang berdampingan dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pada peringatan Maulud Nabi yang terdapat berbagai macam kegiatan-kegiatan khusunya pada kegiatan karnaval, selalu mengundang banyak perhatian dari banyak orang baik dari luar desa maupun dusun. Hal tersebut yang kemudian dimanfaatkan oleh para jejaka untuk melakukan gredo atau menggoda para gadis pada saat melihat karnaval baik yang ada di teras rumah maupun di jalan-jalan. Kegiatan gredo tersebut tidak hanya dilakukan secara terang-terangan tetapi juga menggunakan berberapa simbol-simbol dalam memikat hati gadis. Simbol- simbol tersebut berupa pantun atau Basanan. Istilah Basanan tersebut berisikan kata-kata yang bermakna merayu atau menggoda para gadis. Apabila jejaka mengirimkan atau mengucapkan basanan maka gadis akan membalas dengan menggunakan patun atau basanan yang serupa atau sama.
Gredoan saat ini mengalami perubahan yaitu antara lain Pertama, tempat pertemuan untuk gredo, jejaka dan gadis tidak selalu bertemu didalam rumah melainkan sekarang dapat dilakukan diluar rumah atau di tempat umum ketika diadakan hiburan seperti: melihat karnaval, panggung musik atau orkestra. Kedua, proses komunikasi yang dilakukan tidak lagi dilakukan dengan menggunakan pantun, atau dengan menggunkan sodho atau lidi melainkan berubah dengan menggunakan alat komunikasi modern seperti Hand Phone (HP) yaitu dengan cara mengirim sejumlah pesan-pesan atau SMS (Short Mesage System) yang memiliki makna gredo. Selain itu juga gredoan yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang tua. Secara teoritik makna simbol dalam setiap interaksi dalam tradisi Gredoan telah mengalami pergeseran atau perkembangan sesuai dengan perkembangan teknologi. Simbol-simbol yang mengalami perubahan tersebut seperti: Penggunaan Sodho atau lidi sebagai media perantara komunikasi tidak lagi digunakan. Saat ini yang menghubungkan si jejaka dan gadis lebih memiliki sifat universal, jejaka langsung bertemu dengan gadis di rumahnya dan juga ada yang menggunakan perantara alat komunikasi modern seperti Hand Phone (HP). Pergeseran atau perkembangan simbol-simbol tersebut selalu mengikuti perkembangan budaya masyarakat. Dengan masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi modern menyebabkan simbol-simbol tersebut berubah dan berganti. Tetapi pada intinya perkembangan dan pergeseran simbol-simbol tersebut dimaksudkan sebagai adaya tarik masyarakat untuk tidak melupakan tradisi atau budaya lokal yangmereka miliki atau menjaga eksistensi budaya lokal masyarakat. Gredoan memiliki dua makna yaitu makna secara kultural dan secara sosiologi. Secara kultural, Gredoan bermakna sebagai upaya menjaga danmempertahankan budaya lokal masyarakat Using. Sedangkan secara sosiologi yaitu sebagai upaya menjaga dan mempertahankan komunitas Suku Using melalui bentuk perkawinan secara endogami.
Fenomena gredoan-seorang pemuda bertemu dengan gadis atau janda di dapur, bersalaman, dan ngobrol-berbeda dengan fenomena tahun 1960-an. Gredoan itu dilakukan dengan pihak lelaki mengintip melalui celah dinding gedek kemudian memasukkan lidi. Si wanita memotong ujung lidi pertanda setuju di-gredo. Lantas, terjadi percakapan yang dibatasi dinding dengan cara basanan atau berpantun. Jika setuju, esoknya si lelaki datang melanjutkan hubungan. Kalau kedua pihak setuju, tak perlu lama lagi mereka menikah.
Gredoan berasal dari bahasa Using, ”gredu”, atau bahasa Jawa kuno, ”gridu”, yang berarti menggoda. Merupakan tradisi masyarakat Using, suatu subkultur di Jawa Timur di samping subkultur Arek, Mataraman, Madura, Pendalungan, dan Tengger. Masyarakat subkultur Using merupakan mayoritas penduduk Banyuwangi. Secara fisik tidak ada bedanya antara masyarakat Using dan Jawa. Ciri utamanya adalah dialeknya. Adapun gredoan hanya ada di empat desa, yaitu Cangkring, Kecamatan Rogojampi, dan tiga desa di Kecamatan Kabat, yaitu Desa Gombolirang, Macanputih, dan Tambong.



IV.        Tradisi Gredoan Dilihat dari Beberapa Aspek
1)   Aspek Perjuangan
Tidak ada satu pun orang yang memastikan kapan tradisi gredoan mulai digelar. Seorang budayawan Using, mengatakan, tradisi itu sudah tua. Pada awal tahun 1960-an beliau telah mengikuti tradisi gredoan.
Di desa-desa itu, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW atau muludan yang dipelihara masyarakat Banyuwangi sampai sekarang dijadikan sarana untuk silaturahim. Di samping memberikan nasi dan penganan kepada saudara yang tinggal di luar desa, juga dipakai sebagai momentum mengumpulkan sanak famili atau reuni. Karena memasak untuk pesta muludan butuh tenaga banyak, didatangkan sanak kerabat untuk rewang (membantu).
Acara reuni ini lantas dijadikan momentum untuk menjodohkan anak-anak mereka. Para tetua memfasilitasi agar mereka saling kenal, tapi tak melanggar norma agama. Karena itu, perkenalan di antara mereka pun dibatasi dinding.
Gredoan ini sekaligus mencegah orangtua memaksakan jodoh anak gadisnya karena pemaksaan sering berlanjut dengan munculnya colongan atau playoaken. Yaitu lelaki melarikan gadis sampai akhirnya orang tua gadis mau menikahkan.

2)   Aspek Sosial Masyarakat
Gredoan juga sebagai koreksi atas pranata sosial tradisional lain, yaitu bathokan. Bathokan adalah ketika seorang gadis membuka warung agar dapat kenal dengan pria.
Dengan demikian, gredoan dianggap sebagai media perjodohan paling baik dan bermartabat.  Diyakini pula jodoh yang didapat dari gredoan akan mendapat berkah karena diselenggarakan di bulan kelahiran Nabi.

3)   Aspek Seni dan Budaya
Dalam perkembangan mutakhir, gredoan bergerak berbalik arah. Kini menjadi media atau fasilitas bertautnya lelaki-perempuan secara lebih bebas sehingga banyak warga Banyuputih yang mulai gerah.
Sosiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Hotman M Siahaan, melihat perubahan gredoan dari ranah privat ke ranah publik akibat penetrasi komersialisasi bisnis. Terlihat di gredoan ada perusahaan yang menjadi sponsor, melibatkan media massa untuk tayang jualnya.
Akhirnya, yang terancam adalah kearifan lokal yang menjiwai pranata sosial tradisional itu. Sulit terjadi proses ”glokalisasi”, yaitu menguatnya pengaruh kearifan lokal menghadapi globalisasi karena dinding ”glokalisasi” tidak cukup kuat.
Untuk diikhlaskan mati seperti tradisi bathokan karena hanya memperburuk citra masyarakat Using, tampaknya tidak mudah karena gredoan modern mendapat penyangga baru, yaitu kekuatan modal dan komersial. Juga pemerintah setempat yang menjadikannya sebagai proyek pariwisata.

4)   Aspek Ekonomi
Biaya pesta Gredoan atau muludan memang tidak sedikit. Ny.Sumarni, salah satu panitia pelaksanaan tradisi Greodan tahun ini, mengaku sudah habis lebih dari Rp 2.000.000,00. Tahun lalu lebih dari Rp 3.000.000,00. Beliau mengaku yang dikirimi ater-ater berkurang dari tahun lalu. Ater-ater adalah mengirmkan nasi lengkap lauk pauk dan penganan kepada sanak famili dan handai tolan yang tinggal di desa lain. Disamping untuk ater-ater,tingginya biaya itu juga untuk menjamu tamu maupun sanak kerabat yang datang karena setiap gredoan banyak sanak kerabat yang datang silaturahim.Ditambah sumbangan perayaan desa Rp.10.000 per keluarga. Di setiap muludan hampir semua orang asal Macanputih mudik.
Pada zaman dulu,daging ayam dan telur adalah makanan istimewa.Kuatnya keyakinan atas tradisi itulah yang menyebabkan warga Macanputih tidak pernah memperhitungkan “untung-rugi”-menurut perspektif bisnis modern dalam menyelenggarakan pesta muludan dan gredoan.

5)   Aspek Etnis dan Religius
Pada masyarakat Using Banyuwangi proses pencarian jodoh atau perjodohan dilakukan dengan berbagai cara dan telah menjadi tradisi serta warisan dari nenek moyangnya. Tradisi perjodohan tersebut diantaranya tradisi Gredoan, Bathokan, dan Mlayokaken. Bentuk perjodohan dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol yang bertujuan untuk menunjukkan kasih sayangnya, seperti penggunaan Basanan atau Wangsalan. Tradisi perjodohan yang hingga sekarang masih tetap eksis dalam masyarakatUsing secara keseluruhan adalah tradisi Gredoan. Gredoan dalam bahasa Usingberarti saling menggoda (Nggridu = goda) antara jejaka dan gadis. Dalam hal tesebut dilakukan dengan artian positif karena Gredoan yang dilakukan adalah dengan cara baik-baik untuk mencari pasangan.
Gredoan setiap tahun dilaksanakan tepat pada bulan Maulud NabiMuhammad SAW. Upacara perjodohan tersebut memanfaatkan kegiatan-kegiatan dalam peringatan Maulud Nabi seperti karnaval. Karnaval merupakan salah satu bentuk peringatan Maulud Nabi pada masyarakat Using yang bentuknya berupa pertunjukan seni dan atraksi.


  V.        Kesimpulan dan Saran
Tradisi gredoan adalah kesenian asli masyarakat using Banyuwangi tepatnya berada di empat desa, yaitu Cangkring, Kecamatan Rogojampi, dan tiga desa di Kecamatan Kabat, yaitu Desa Gombolirang, Macanputih, dan Tambong. Pada masyarakat Using Banyuwangi tradisi gredoan yang dilakukan dengan berbagai cara dan telah menjadi tradisi serta warisan dari nenek moyangnya.
Di Desa Macan Putih, Gredoan setiap tahun dilaksanakan tepat pada bulan Maulud Nabi Muhammad SAW.
Ada baiknya tradisi tersebut harus tetap di pertahankan oleh masyarakat Using Banyuwangi sebagai instrumen untuk mempertemukan lelaki dan perempuan sebagai proses menuju perjodohan secara bermartabat. Dan melestarikan tradisi tersebut sebagai warisan dari nenek moyang.


VII.        Sumber Data

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sheila Nurvatisna Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review